Pak Di Sini

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 23 Oktober 2009.]

Di mana tinggal Pak Di Sini? Pertanyaan ini saya ajukan karena ada keinginan mendalam berjabat tangan dengan orang yang agaknya amat rajin, berhasil, dan siap turun tangan di mana-mana.

Pak Di Sini ini berkarya di seluruh Indonesia (setidaknya sejauh yang saya tahu) dan sering kali berkiprah di pinggir jalan. Belum lama ini saya menikmati perjalanan dari Surabaya ke Blora. Sepanjang jalan saya ketemu jejak-jejaknya di pelbagai tempat. Beliau bergerak baik di bidang perminyakan maupun bidang properti, baik di bidang pertanian maupun di bidang kecantikan. Beliau tidak takut kotor dan tidak pula takut bersosialisasi dengan orang dari latar yang beragam.

Nah, jika jejak-jejaknya begitu banyak, dan daerah bertugasnya begitu luas, seharusnya tidak terlalu sukar mencari Pak Di Sini. Kenyataannya lain. Di setiap tempat yang saya singgahi untuk menanyakan keberadaannya, saya hanya bertemu dengan kepala-kepala yang bergeleng-geleng. Kadang-kadang orang-orang yang saya tanyai ini merasa kasihan sama saya. Sekali waktu saya cukup yakin mendengar bisikan yang kira-kira berbunyi: ”Aduh, kasihan, bulé ini benar-benar kepanasan.”

Saya tidak terlalu gampang menyerah. Sebaliknya, kendala-kendala ini membuat saya semakin penasaran dan semakin bertekad mencari bapak ini. Ngomong-ngomong, sebetulnya beliau belum tentu seorang bapak. Bisa saja beliau seorang ibu atau mungkin anak. Mungkin juga sekeluarga (besar).

Dari mana saya kenal Pak Di Sini? Seperti sebagian pembaca yang mungkin sudah tebak, barang tentu dari papan-papan di pinggir jalan: ”Di Sini Jual Bensin”, ”Di Sini Bisa Ganti Oli”, ”Di Sini Jual Madu”, ”Di Sini Bisa Potong Rambut”, dan seterusnya. Tak aneh kalau orang terkesan oleh kemampuannya si Di Sini yang dipaparkan di pinggir jalan tersebut, bukan?

Sejujurnya saya pun sadar akan maksud papan-papan ini. Kisah di atas mengenai bisikan tentang bulé yang kepanasan hanyalah cerita belaka. (Toh, itu tak berarti tak ada bisikan lain yang membuntuti si bulé ke mana pun ia pergi, tetapi itu akan saya bahas dalam kesempatan yang lain.) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat yang begitu dahsyat, sini adalah sebuah pronomina. Ini tentu saja bukan berita mengagetkan, dan pasti begitu di edisi-edisi terdahulu juga. Yang mengagetkan justru papan-papan di pinggir jalanlah yang mengisyaratkan sebuah pronomina bisa melakukan aneka kegiatan, bahwa sebuah pronomina siap turun tangan dan bahwa ia bisa menyediakan sejumlah pelayanan bagi orang-orang yang kebetulan lewat daerah berkiprahnya.

Mungkin persoalan kebahasaan ini terasa enteng dan remeh di zaman yang memperlihatkan sejumlah pejabat tinggi negara tak bisa atau tak mau berbahasa Indonesia dengan baik dan betul, tetapi saya kira selalu ada baiknya memulai dengan diri sendiri. Bagaimana alternatifnya bagi yang berjualan di pinggir jalan? Mungkin bisa ”Di sini tersedia bensin”, ”Di sini dijual bensin”, ”Bensin dijual di sini”, atau ”Tempat penjualan bensin”. Kalau saya sendiri pada suatu saat mau membuat papan, alternatif yang terakhir disebut akan saya pilih: ”Tempat pemelototan bulé”. Siapa tahu, kata pemelototan bisa masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Kelima.

2 pemikiran pada “Pak Di Sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *