Rumah, Vila, dan Tanah

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 25 Maret 2011.]

Saya pernah membahas bahasa iklan properti (Kompas, 12 Februari 2010) yang antara lain mengeluhkan pemahaman kaku atas kata strategis dan kata nego. Setelah membaca kolom menarik yang ditulis Rainy MP Hutabarat pekan lalu di rubrik ini mengenai istilah-istilah untuk tempat penginapan di Indonesia (hotel, wisma, losmen, asrama, dan seterusnya), saya jadi terinspirasi mengunjungi iklan-iklan properti lagi.

Pembahasan setahun yang lalu belum tuntas. Dalam kolom ini pembaca akan saya ajak menelusuri secara pendek beberapa kata yang paling lazim dipakai dalam bahasa properti.

Nah, kata yang paling sering muncul di iklan properti sudah barang tentu rumah. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa mengartikannya sebagai ’bangunan untuk tempat tinggal’ atau ’bangunan pada umumnya (seperti gedung)’. Sampai sekarang jelas-jelas saja tak ada yang perlu dipertanyakan. Tanda tanya baru muncul setelah melihat kata-kata sifat yang sering melekat dan menempel pada kata rumah ini.

Rupanya telah terjadi pergeseran makna yang agak substansial pada kata-kata ini. Inilah beberapa contoh: idaman sebetulnya berarti ’sederhana’, asri berarti ’dilengkapi dengan dua tanaman Adenium’, mungil dan manis berarti ’kecil dan terjepit di antara dua bangunan besar’, dan cocok untuk pengantin baru berarti ’sangat sederhana (mengingat pernikahannya sendiri menghabiskan dana dalam jumlah yang tak layak)’. Dengan kata lain, kata-kata ini sudah kehilangan arti dalam bahasa properti dan sama sekali tak dapat membantu pembeli.

Sebuah kata yang kian populer dalam bahasa properti adalah villa, yang selalu dieja secara salah dengan dua l. Seharusnya vila, menurut KBBI. Kata vila ini terutama dipakai di Bali dan Jawa Barat, setidaknya menurut telaahan mungil dan tak ilmiah saya, dan selalu muncul untuk menggambarkan rumah yang mewah, asri, dan mampu memikat hati. Rumah itu sendiri sering kali agak luas dan begitu pula dengan tanahnya. Kebunnya tertata rapi dan tak jarang ada kolam renang, dan barangkali lapangan tenis. Letaknya sering di ”kawasan elite”—entah apa itu. Kira-kira beginilah sebuah vila, menurut para pengiklan.

Lantas, bagaimana menurut KBBI? Barangkali orang-orang terpandang yang mengaku elite dan punya vila akan terperanjat dan kecil hati jika mereka tahu bahwa Pusat Bahasa mendeskripsikan rumah mereka sebagai ”rumah mungil di luar kota atau di pegunungan; rumah peristirahatan”. Kasihan.

Ketika membaca iklan-iklan properti, saya juga sering ternganga-nganga melihat kemampuan tanah dan rumah di Indonesia. Misalkan, kita tidak perlu mencari lama untuk ketemu sebuah potong tanah yang ”siap bangun”. Lho, memang lagi tidur? Bisa bangun sendiri? Hebat benar, tanah ini!

Mengenai rumah, juga tidak susah mencari yang ”baru selesai bangun”. Rasanya ingin sekali melihat rumah ini. Apakah setelah bangun bisa cuci muka sendiri juga? Namun, barangkali paling hebat adalah potongan-potongan tanah yang dinyatakan ”cocok untuk mendirikan vila”. Hebat, kan? Orang yang ingin punya rumah baru sepertinya cukup membeli tanah kosong karena tanahnya ini nanti berfungsi sebagai tukang bangunan. Ya, cocok sekali.

Akhirnya, tentu saja bahasa properti juga sering dibumbui dengan bahasa Inggris agar terasa lebih mantap. Maka, jangan heran kalau ada ”tanah view laut” atau ”rumah asri dan luxury”.

3 pemikiran pada “Rumah, Vila, dan Tanah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *