Kedwibahasaan (II)

SEBULAN yang lalu secara singkat saya membahas ihwal kedwibahasaan di kolom ini. Di situ saya kemukakan dua metode yang lazim dipakai dalam keluarga berdwibahasa. Yang satu mengajarkan setiap orang tua memakai bahasanya sendiri dengan anak-anak, sedangkan yang satunya lagi mengajarkan supaya bahasa minoritas dipakai di rumah dan bahasa mayoritas di luar rumah.

Metode kedua ini tentu mengharuskan kedua orang tua sudah lancar dalam bahasa minoritas: setidaknya lancar berbicara; menulis dan membaca timbul nanti bila si anak mulai sekolah dasar. Metode pertama, yang biasanya disebut une personne, une langue ’satu orang, satu bahasa’, paling sering dipakai dalam keluarga yang berdwibahasa atau beraneka bahasa. Metode ini tidak jarang dianggap paling memuaskan untuk menjadikan kedwibahasaan sebagai sesuatu yang lumrah bagi si penutur.

Ketika anak saya lahir 20 bulan lalu, saya dan istri saya sepakat mengikuti cara ini: saya pakai bahasa Swedia dan istri saya pakai bahasa Indonesia. Bahasa Jawa harus kami tunda dulu.

Mula-mula sistem ini sepertinya berjalan cukup lancar. Waktu sekitar satu setengah tahun, Naima, anak kami, dapat mengerti kedua bahasa itu lumayan baik. Akan tetapi, sewaktu dia mulai lebih banyak bicara sendiri, kami mengamati bahwa dia cenderung memilih bahasa Swedia. Walaupun ibunya bertanya dalam bahasa Indonesia, Naima menjawab pakai bahasa Swedia. Sekitar 80 atau malah 90 persen kosakatanya ialah kosakata bahasa Swedia.

Keadaan ini cukup meresahkan sebab kami sudah bersepakat berusaha menjadikan Naima berdwibahasa. Dengan sendirinya, kami mulai mengamati keadaan sekeliling. Yang kami temukan cukup menyedihkan.

Kami mengamati anak-anak di Lund, sebuah kota di Swedia tempat kami sekarang berada, dari keluarga yang memakai bahasa lain selain bahasa Swedia. Di keluarga campuran, seperti keluarga kami sendiri, kebanyakan anak hanya bisa bicara dengan bahasa mayoritas. Sebagian dapat mengerti bahasa minoritas, tetapi kebanyakan tidak bisa melafalkan bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam keluarga yang kedua orang tuanya memakai bahasa minoritas, keadaan serupa dapat diamati. Walaupun kemampuan si anak berbahasa minoritas dalam keluarga seperti itu meningkat dibandingkan dengan anak dari keluarga campuran, sering kali anak-anak cenderung memakai bahasa Swedia. Meskipun ditanya dalam bahasa Arab, misalnya, si anak menjawab dengan bahasa Swedia.

Setiap orang yang mempelajari suatu bahasa (asing) memerlukan masukan yang memadai. Kalau masukan tidak memadai, si pelajar akan gagal dalam usahanya. Dengan dibekali pemikiran ini dan pengamatan tadi, saya bersama istri mengerti bahwa masukan bahasa Indonesia bagi Naima kurang banyak. Di mana-mana ia temukan bahasa Swedia: dari ayahnya, dari taman kanak-kanak, dari TV, dari radio, dari teman-teman, dari saudara, dan seterusnya. Sedangkan bahasa Indonesia hanya ia peroleh dari ibunya serta beberapa teman ibunya. Jadi, untuk menyeimbangkan masukan kedua bahasa itu, kami memutuskan hanya memakai bahasa Indonesia di rumah.

Dengan demikian, kami meninggalkan metode une personne, une langue dan menggantinya dengan metode bahasa minoritas-mayoritas tadi. Supaya tidak terlalu memusingkan Naima, kami berharap tidak usah ganti metode lagi.

Sekarang, baru beberapa minggu setelah kami mulai pakai bahasa Indonesia saja di rumah, sudah ada perkembangan yang menggembirakan. Naima sudah lebih banyak pakai bahasa Indonesia walau masih belum sebanyak bahasa Swedia. Kosakatanya sepertinya ditambah setiap hari dalam kedua bahasa itu. Meskipun masih terlalu awal mengevaluasi metode ini untuk menjadikan anak berdwibahasa, kami merasa metode ini jauh lebih pas bagi situasi kami sekarang.

Kalaupun semuanya gagal nanti, saya sedang menyiapkan suatu kamus umum Swedia-Indonesia yang dapat digunakannya kelak. Kalau metode kami berhasil, ia tidak perlu menggunakannya, tetapi dapat menyempurnakannya.

ANDRÈ MÖLLER Mahasiswa S3 di Lund, Swedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *