Daerah (Tak Begitu) Istimewa

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 23 November, 2013.]

Dalam imajinasi populer, Yogyakarta sering menjelma sebagai penegak sekaligus pembela kebudayaan dan bahasa. Di sekitar alun-alun utaralah, bahasa Jawa dalam bentuk paling halus dapat didengarkan, dan di sekitar alun-alun selatanlah kesenian-kesenian Jawa bisa disaksikan dalam bentuk paling sempurna. Pas rasanya ketika Kongres Kebudayaan Indonesia belum lama ini berlangsung di Yogyakarta dan mengumpulkan lebih dari lima ratus budayawan dari seluruh Nusantara. Barangkali para budayawan ini sangat ingin menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana kebudayaan dan bahasa berkembang, dibela dan dihayati di kota ini.

Hanya saja, mungkin mereka kecewa melihat bahwa orang Yogya yang berbudaya halus pada zaman ini identik dengan orang yang memacetkan jalan karena tidak sabar menghabiskan waktu, energi dan uang di sejumlah pusat perbelanjaan yang ikut meramaikan kota ini. Ternyata, pusat perbelanjaan sekarang muncul bak jamur di musim hujan di setiap sudut kota. Mari kita mencermati dengan agak lebih saksama nama-nama pusat perbelanjaan baru ini.

Beberapa tahun yang lalu Ambarukmo Plaza muncul sebagai primadona baru di kota ini yang setiap saat siap memanjakan kaum urban. Mengapa dinamakan Ambarukmo Plaza, dan bukan Plaza (ataupun Plasa) Ambarukmo? Tentu saja, nama gaulnya jadi Amplaz dengan susunan kata nginggris ini, tapi menurut saya Plazma pun tidak kalah keren kalau mau lebih taat pada tata bahasa Indonesia. Nah, bagaimana dengan pusat-pusat perbelanjaan yang lebih baru di kota pelajar ini? Tidak kurang dari lima pusat komersial baru memperkaya atau mencemari (bergantung pendapat para pembaca) kota istimewa ini. Apakah mereka diberi nama yang sesuai dengan Undang-Undang nomor 24 tahun 2009 tentang ”Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan”? Apakah mereka diberi nama yang sesuai dengan citra Yogyakarta sebagai kota yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dan kebahasaan? Apakah Pemerintah Kota akan menerima nama-nama yang jauh dari bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan lebih jauh lagi dari bahasa Jawa?

Nama-nama pusat ini cukup mengecewakan. Yang pertama diberi nama Sahid Jogja Lifestyle. Yang kedua: Mall Saphir. Terus, Malioboro City. Kemudian, Jogja City Mall. Dan, terakhir, Hartono Lifestyle Mall. Yang terakhir ini, katanya, sedang menjelma di Ring Road Utara, sedangkan yang lainnya masih memiliki alamat berbahasa Indonesia. Yang benar saja? Siapa yang akan merasa tertarik oleh nama-nama (semi-)Inggris ini? Sayangnya, saya yakin cukup banyak orang. Kedengarannya kan modern dan demikian keren. Tentu saja, 99 persen dari pengunjungnya akan berbangsa dan berbahasa Indonesia, tapi untuk menarik perhatian, rupanya dibutuhkan nama berbau asing.

Sekarang barangkali sebagian pembaca mengatakan: ”Nah, ini kan hal sepele! Indonesia kan menghadapi masalah yang jauh lebih serius daripada masalah ini!” Barangkali kalian benar. Tapi kalau dilihat lebih jauh, sejumlah pertanyaan muncul dalam benak sederhana saya. Akankah ada dampak pada citra Kota Yogakarta sebagai kota budaya nan halus? Apakah keistimewaan Yogya lama-lama akan menghilang? Mengapa para wakil rakyat susah-susah menyusun Undang-Undang kalau tidak diterapkan? Kapan akan ada pusat perbelanjaan yang diberi nama berbahasa Indonesia, dan kapan pusat perbelanjaan akan disebut pusat perbelanjaan (dan bukan shopping centre atau mall)?

Bagaimanapun juga, Jojga tetap saja ngangeni. Semoga keistimewaannya bisa dijaga.

/André Möller

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *