Ciuman di Bawah Jembatan

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 8 Maret, 2014.]

Belum lama lagi, penyuntingan terakhir Kamus Swedia-Indonesia, Indonesia-Swedia akan selesai dikerjakan dan buku ini akan terbit di Jakarta, Dengan demikian, pergulatan saya di dunia perkamusan akhirnya selesai.

Penulisan kamus adalah kegiatan yang sering kali dikerjakan dalam kesunyian, hanya dengan ditemani irama gamelan, rasa kantuk dan secangkir kopi hitam yang berusaha menaklukkan kekantukannya tadi. Namun, pada tahap akhir penulisan kamus, pastilah seorang penyunting dari pihak penerbit akan terlibat dan berusaha sebaik tenaga untuk mengarahkan naskah kamus ke jalan yang setidaknya lumayan lurus.

Saya beruntung bisa bekerja sama dengan orang yang enam tahun yang lalu juga menangangi naskah saya. Dengan rendah hati, beliau pernah menyebut dirinya dengan sebutan “tukang nyunting naskah” tapi beliau tentu seorang ahli bahasa Indonesia yang amat tajam penglihatannya kalau sebuah naskah sampai di meja kerjanya. Berikut akan saya mengedepankan beberapa masalah dalam naskah asli yang beliau mengirim kembali ke saya dengan catatan merah. Selain catatan merah, adapun benang merah di masalah-masalah ini yang akan kelihatan jelas.

Pertama, di bawah lema cium saya mencantumkan contoh pemakaian bahasa berikut: mereka kelihatan ciuman di bawah jembatan. Dalam benak saya muncul gambaran yang romantis: sebuah pasangan muda berciuman di bawah jembatan tua dari bebatuan. Mungkin hujan rintik-rintik. Mungkin pakai payung. Mungkin ada sedikit cahaya dari lampu jalan yang menerangi wajah sang perempuan yang elok sekaligus kelihatan sedikit malu. Mungkin… Sebelum saya sempat melanjutkan khayalan saya, naskah kembali dengan coretan dari Jakarta: daerah di bawah jembatan adalah tempat kumuh, gelap, kurang aman dan tidak sehat. Bukan tempat yang pas untuk ciuman. Ciumlah di bawah pohon manggis, usulannya.

Lain hari, lain contoh. Di bawah lema kontemplasi saya memberi contoh: dia berkontemplasi di bawah pohon pisang. Dalam benak saya muncul gambaran yang cukup eksotis: seseorang duduk di bawah pohon buah yang tidak pernah bisa tumbuh di tanah air saya. Kalau lapar, tinggal ambil sebuah pisang. Suasananya hangat dan tenang. Naskah kembali dengan catatan bahwa selalu banyak nyamuk di dekat pohon pisang. Lagipula, daun pisang tidak memberi banyak teduhan, dan tidak enak duduk langsung di tanah. Berkontemplasilah di serambi, usulannya.

Ketiga, di bawah lema piknik saya menyampaikan contoh penggunaan sebagai berikut: mereka akan mengadakan piknik di hutan Sabtu ini. Saya bayangkan suasana tenang di hutan. Barangkali seluruh keluarga sedang berkumpul dan makan-makan. Ada angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Mungkin ada yang mengeluarkan seruling dari tas punggungnya. Tapi naskah kembali dengan coretan merah lagi: Hutan bukan tempat yang pas untuk mengadakan piknik. Ada serangga-serangga yang bakal menggangu, ada kelembapan tinggi yang bikin sesak napas, dan siapa tahu ada hewan apa lagi yang ingin ikut piknik? Berpikniklah di pantai, usulannya.

Nah, apa benang merahnya? Singkat saja karena nyaris kehabisan tempat di kolom ini: Setiap bahasa memiliki lingkungan dan konteks sendiri yang tidak bisa diabaikan dan tidak selalu bisa dipelajari dari kamus.

Sekali lagi, matur nuwun Ibu W. Mugi-mugi kepanggih wonten Ngayogyakarta mengke.

O ya. Kata kekantukan yang saya pakai di atas belum tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Harap maklum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *