Aksara yang Hilang

SEPERTI sering diutarakan di berbagai forum bahasa, memang betul situasi kebahasaan di Indonesia menakjubkan sekaligus mengagumkan. Keberadaan beratus bahasa dalam suatu negeri tentu cukup unik, lebih-lebih untuk wisatawan Eropa yang terbiasa dengan hanya satu atau dua bahasa dalam negerinya masing-masing. Di kota besar Indonesia dapat terdengar puluhan bahasa dalam jangka beberapa jam saja. Bila sudah sampai di hutan Kalimantan atau Papua bisa dipastikan hampir setiap suku bangsa yang ditemui memiliki bahasa tersendiri. Mencengangkan sekaligus membuat ternganga keheranan!

Warisan bahasa ini barang tentu sudah melahirkan karya sastra dalam berbagai bentuk. (Walaupun kita mengenal ucapan sastra lisan, di sini kita hanya fokuskan perhatian pada sastra tertulis.) Orang Jawa memiliki warisan susastranya, begitu pula orang Sunda, orang Bali, dan seterusnya. Oleh karena di dalam karya- karya ini tersimpan kebijaksanaan dan kearifan dari masa ke masa, hasil kesusastraan ini dapat kita sebutkan ingatan kebudayaan kolektif. Dengan membacanya, kecendekiaan yang berhubungan dengan sejarah, agama, pemerintahan, dan lain-lain dapat terungkap. Sekalian, kesalahan dan kekeliruan masa lalu dapat kita hindari jika sudah mengetahuinya.

Namun (selalu ada namun-nya), kita harus bertanya: siapa yang mau membaca karya-karya ini? Siapa yang mau mengungkapkan kearifan dan kekeliruan masa lampau? Siapa yang mau melestarikan bahasa-bahasa dalam bentuk tertulis di Indonesia? Pertanyaan seperti ini muncul dari kesan dan kesadaran bahwa bahasa-bahasa daerah (besar) di Indonesia cukup sehat keadaannya jika dipandang dari sudut lisan saja.

Dipandang dari sudut tertulis, lain ceritanya. Tak melebih- lebihkan bila dikatakan bahasa-bahasa di Indonesia saat ini sekadar bahasa lisan. Cara menulisnya dan membacanya jarang dikuasai, lagi-lagi kalau harus memakai aksara aslinya. Tentu saja bahasa yang memiliki aksara tersendiri ingin ditulis dan dibaca dalam bentuk cantiknya itu. Yakinlah, naskah-naskah kuno sering terkecewakan oleh kemampuan cucu-cicit pengarangnya.

Seperti diketahui, pendidikan dasar di negeri ini mengharuskan belajar bahasa daerah. Ini pasti perlu dan merupakan inisiatif baik. Hanya saja, waktu yang diberikan kepada para murid (dan guru) jauh dari cukup. Sama sekali tidak wajar jika murid dianggap memiliki pengetahuan memuaskan tentang bahasanya setelah melewati pendidikan itu. Pendidikan bahasa lisan saja kurang, apalagi pendidikan bahasa tertulis!

Mengapa harus begitu? Dapat dikira bahwa gagasan orang Indonesia tentang apa yang disebut kemodernan itu memiliki peranan yang cukup penting. Kesan saya, bahasa daerah dalam bentuk tertulis-terkadang juga dalam bentuk lisan-sering punya konotasi kuno di tengah generasi muda. Soalnya, yang dicari tidak lain selain kemodernan, aksara dan cara penulisan bahasa daerah sering disepelekan. Dengan demikian, fokus utama diberikan pada aksara Latin dan bahasa Indonesia.

Rasanya tidak salah jika pemerintah Indonesia perlu dimintai pertanggungjawaban juga, sebab pusat perhatiannya sudah lama diarahkan kepada persatuan dan kesatuan negeri ini. Itu sah-sah saja dan malah wajar. Yang tidak masuk akal, kemajemukan tidak diberi ruang gerak yang cukup luas dalam kesatuan dan persatuan itu. Di mana logika “Bhinneka Tunggal Ika”?

Kalau curi pandang ke Malaysia, kita temui keadaan berbeda. Di sana penulisan bahasa Melayu dengan aksara Arab masih sering dijumpai. Tak jarang papan-papan yang dipasang di kota-kota Malaysia mengandung dua cara menulis pesan yang sama. Jadi, jangan heran kalau ketemu iklan Coca-Cola yang ditulis baik dengan huruf Latin maupun huruf Arab walau bahasanya tetap Melayu. Bisa dikatakan jati diri bangsa Melayu erat hubungannya dengan cara penulisan yang disebut ejaan Jawi itu.

Tentu saya tidak mengusulkan supaya pendidikan penulisan huruf Latin ditiadakan di Indonesia. Wajar dianjurkan supaya beberapa langkah diambil untuk mencegah perkembangan tidak menyenangkan soal keadaan bahasa daerah tertulis. Jika tidak, sebagian besar warisan kebudayaan dapat menjauh dari jangkauan orang biasa. Dan kalau sudah terlalu jauh, jati dirinya pun dapat hilang.

André Möller Mahasiswa S3 tentang Indonesia di Lund, Swedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *