Swafoto dan Dirian

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 20 Desember 2014.]

Jikalau pembaca yang budiman berkunjung ke Borobodur atau Prambanan sepuluh tahun yang lalu, pembaca bakal melihat wisatawan yang sibuk mencermati relief-relief kuno dan dengan teliti mendengarkan ilmu dan pengetahuan yang keluar dari mulut-mulut para pemandu, guru dan mahaguru. Rasa ketakjuban mengalami secara langsung kedua keajaiban kebudayaan Nusantara ini terasa sangat kental. Ada rasa bangga bercampur dengan keheranan. Tercenganglah, para wisatawan tadi. Dan wajarlah, hal tersebut.

Namun, kalau Anda berkesempatan mengunjungi kedua cagar budaya pada saat ini, maka pemandangan yang menunggu Anda cukup berbeda. Sudah tidak ada orang yang berusaha menafsirkan relief-relief tadi, dan jarang ada yang mendengarkan pemandu-pemandu. Pada zaman ini, hal terpenting ketika mengunjungi candi, pantai, gunung, pusat pertokoan atau tempat lain yang bisa dianggap menarik, adalah ambil selfie alias nge-selfie alias memotret diri dan kemudian menyebarkannya dalam berbagai media sosial bak virus.

Tentu saja, masalah pemotretan diri bukan hal yang baru. Seniman terkemuka dari Belanda, Rembrandt, misalnya, berhasil melukis lebih dari seratus portret diri selama hidup, dan ini terjadi pada awal abad ke-17. Seperti pada zaman sekarang, para seniman kala itu juga memakai sejumlah “filter” untuk mempercantik dunia nyata, dan tidak segan menyampaikan karyanya dalam bentuk yang barangkali agak lebih indah daripada kenyataannya. Ternyata, bukan saja wisatawan biasa yang lagi gemar melakukan kegiatan ini, karena jamaah haji pun tidak mau ketinggalan. Di tanah suci sana, ada ulama yang mengharamkannya, dan ada pula jamaah yang menghalalkannya, dan bahkan menciptakan tagar #hajiselfie di media sosial. Potret diri yang diambil beberapa saat sebelum atau sesudah salat id juga bermunculan.

Bukan tugas kita di sini untuk menilai kebiasaan semi-baru ini atau memberikan cap halal, haram dan sejenisnya kepadanya. Yang pantas kita renungkan sejenak adalah istilah selfie itu sendiri. Kata berakar Inggris ini dengan sangat cepat mengakar di Indonesia, dan barangkali bahkan sudah dianggap bagian dari kosakata Indonesia. Tapi, apakah ada alternatif lain bagi yang lebih peka terhadap masalah kebahasaan?

Ada (setidaknya) tiga. Yang pertama adalah swafoto, sebuah istilah yang pernah muncul dalam koran ini juga. Kata ini, dengan awalan Sanskerta dan akhiran Yunani/Inggris/Belanda, terasa enak di lidah dan merupakan ciptaan baru (saya kira?) yang kreatif dan meng-Indonesia. Kata swafoto ini adalah kata benda, tapi bagi saya agak susah membayangkan bagaimana kita bisa menciptakan kata kerja yang terasa pas. Berswafoto terasa mengada-ada, dan mengambil swafoto mungkin kepanjangan. Sehari-hari, orang mungkin akan mengatakan ngeswafoto. Bagaimanapun juga, sampai sekarang saya tidak pernah mendengar orang memakai istilah swafoto ini dalam bentuk apa pun.

Sebelum saya menemukan istilah swafoto tadi, saya sempat merenungkan dan mengusulkan kata dirian sebagai pengganti selfie. Kata ini, saya kira, cukup mudah dimengerti dan bisa mendapat tempat dalam bahasa Indonesia. Namun, kata ini pun sebuah kata benda yang tidak begitu jelas bentuk kata kerjanya. Mendirian kedengaran cukup aneh (setidaknya pada awalnya), dan ada risiko nanti bentuk ngedirian jadi yang lumrah dipakai.

Alternatif ketiga adalah potret diri dan memotret diri yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Masalahnya, istilah ini sepertinya menggambarkan sebuah kegiatan yang ada sebelum keberadaan kamera digital, dan dengan demikian tidak mencerminkan perkembangan beberapa tahun terakhir.

Akhirulkata, sepertinya paling wajar kita kembangkan awalan swa- dan barangkali juga awalan Sanskerta lain seperti maha-, misalnya dalam bentuk mahaguru tadi, yakni profesor.

 

2 pemikiran pada “Swafoto dan Dirian

  1. Sangat sulit untuk mencari / membuat padanan kata selfie dalam bahasa Indonesia. Saya kira, jiran kami justru lebih berteguh hati dalam membahasamelayukan sejumlah kosa kata asing. Misalnya saja kata “deteksi” (dari “to detect”). Mereka menggunakan istilah “mengesan”, sementara kami tanpa ambil pusing langsung menyesuaikannya dengan ejaan bahasa Indonesia menjadi “mendeteksi”.

  2. Saya berpendapat bahwa kita tidak selalu perlu mencari padanan dari kata-kata asing yg. baru. Apa salahnya menyerap dan mengadopsi kata-kata asing yang baru ke dalam bahasa Indonesia? Bukankan bahasa Indonesia telah banyak menyerap kata-kata asing di masa lampau (contohnya Sansekerta, Arab, dll.), di mana pada saat kata-kata asing itu diserap, kata-kata tsb. juga merupakan kata-kata asing yg. baru? Bahasa Inggris yg. jauh, jauh lebih kaya dalam kosa kata-katanya daripada bahasa Indonesia pun telah banyak menyerap dan mengadopsi (secara tidak segan-segan) kata-kata asing ke dalam kosa kata-katanya sendiri, termasuk dari bahasa Indonesia/Melayu (kata2 amok, batik, cockatoo, cootie, gong, kapok, ketchup, sarong, satay, dll.).

    Coba kita analisa pemakaian kata ‘selfie’. Kata tsb. sudah dikenal dan dipakai oleh masyarakat luas. Jika kita menggantinya dengan kata lain atau rangkaian kata-kata lain yg. tidak lazim dipakai oleh masyarakat, apakah masyarakat mau mengadopsinya? Contoh lain: kata e-mail diganti dgn. kata surel. Sekarang siapa yg. memakai kata ‘surel’? Saya pikir sangat sedikit orang yg. memakai kata ‘surel’, dan semua teman2 saya memakai kata ‘email’ atau variasinya. Ada resistensi yg. besar di masyarakat yg. dipaksa untuk mengganti kata yg. sudah umum dan yg. sudah mereka adopsi dalam pemakaian mereka sehari-hari dengan kata atau kata-kata yg. baru dan yg. ‘aneh’ kedengarannya (karena merupakan istilah baru).

    Intinya: menurut saya kita perlu menyerap kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia dan tidak perlu selalu mencari padanan kata-kata asing dalam bahasa Indonesia. Menurut saya, menyerap kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia membuat bahasa Indonesia lebih kaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *