Keefektifan Bahasa

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 18 Juni 2016]

Sering dilontarkan, seolah-olah sampah (dan barangkali memang sampah, pembaca yang budiman), gagasan bahwa bahasa Indonesia ini kurang efektif. Tidak jarang pula, para pembela bahasa yang disisipkan istilah-istilah atau frase-frase berbahasa asing—terutama dari bahasa Inggris—yang mengedepankan ide ini. Menurut mereka, lebih efektif rental motor daripadamenyewanya atau dipersewakannya. Terkadang, kata mereka juga, istilah, frase, dan pembentukan kalimat dalam bahasa Indonesia jadi terlampau panjang dan bahkan rumit supaya dapat diberi penilaian ”kurang efektif”. Barangkali susah dipercaya, tapi golongan ini sesekali sampai menghitung jumlah huruf atau kata demi mencoba menggarisbawahi bahwa pendapat merekalah yang lebih afdal. Toh, reserved lebih sedikit jumlah hurufnya dibandingkan dengan sudah dipesan, tapi sama jumlahnya dengan terpesan.

Gagasan seperti ini tentu dikedepankan oleh macam-macam orang. Sejumlah dari mereka ingin tampil lebih keren dan bergengsi dengan menggunakan bahasa gado-gado, sejumlah yang lain tidak pernah merenungkannya lebih dalam, dan sejumlah yang lain barangkali kurang memahami bahasa ibunya sendiri sampai harus melarikan diri ke bahasa-bahasa lain. Entahlah.

Yang pasti, ide-ide mengenai kurang efektifnya bahasa Indonesia dapat ditemukan dalam semua golongan sosial. Belum lama ini Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan bahwa bahasa Indonesia ini ”boros kata” dan ”tidak efektif”. Dia menilai penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik ”kurang realistis” dan juga bahwa bahasa Inggris lebih tinggi nilai jualnya. Mungkin orang seperti dia lebih cenderung memesan kamar hotel yang ada rice field views daripada pemandangan sawah, dan orang seperti dialah yang membayar kamar itu dengan cash dan bukan tunai meskipun Indonesia sudah punya undang-undang yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam ruang publik. Lucunya, dan ini nyaris mustahil dimengerti, ide-idenya ini ia sampaikan dalam lokakarya berjudul ”Penggunaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik” di Jakarta pada akhir Mei 2016.

Nah, apakah benar bahwa bahasa Indonesia kurang efektif? Apakah bahasa Indonesia memang boros kata dan huruf?

Saya menyetujui gagasan bahwa bahasa sering (tapi tidak selalu, misalnya dalam sastra, puisi atau bentuk seni lainnya) perlu bersifat efektif. Namun, dalam pandangan saya, keefektifan sebuah bahasa tidak pantas diukur oleh jumlah huruf atau kata yang perlu dipakai untuk menyampaikan suatu ide atau pendapat, melainkan oleh lancarnya komunikasi di antara si penutur dan si pendengar.

Suatu bahasa dapat dinilai efektif kalau bahasa tersebut dengan jelas bisa dipahami dan dipakai oleh para penuturnya. Karena saya menilai lebih tinggi sisi lancarnya komunikasi daripada jumlah huruf (dan waktu yang diperlukan untuk mengucapkannya, atau ruang koran yang diperlukan untuk mencetaknya), saya juga cenderung mendukung pembatasan pengakroniman. Lebih baik beroyal-royal dengan kata dan huruf daripada terlalu kikir demi menghemat beberapa huruf atau kata dan dengan demikian beberapa persepuluh detik. Masalahnya, sisi balik dari kebiasaan terlalu banyak menghemat kata dan membentuk akronim baru ataupun memakai bahasa asing adalah bahaya bahwa yang diucapkan tidak dimengerti oleh si penerima.

Bahasa yang tidak dimengerti, menurut saya, adalah bahasa yang tidak efektif. Saya juga yakin, kita tidak perlu takut bahwa lidah kita akan terlampau capai kalaupun kita harus mengucapkan beberapa huruf tambahan. Produk Domestik Bruto (PDB) juga tidak akan terpengaruh oleh nilai jualnya bahasa Indonesia yang konon rendah.

Akhirnya, yang takut akan pemborosan kata barangkali lebih baik diam saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *