Tamat

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 Agustus, 2016]

Terkadang pada halaman terakhir sebuah buku atau pada detik-detik terakhir sebuah film tertulis kata tamat, seolah-olah pembaca dan penonton tidak mengerti apa-apa sendiri kalau tidak diberi tahu. Meski mengandung unsur penghinaan, kata ini kelihatan sederhana dan mudah dimengerti. Buku atau film yang sedang kita nikmati ternyata sudah selesai atau habis, dan ucapan terima kasih barangkali kita layangkan kepada penulis atau sutradara.

Menurut kebijakan yang terhimpun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata tamat ini adalah verba atau kata kerja dengan arti ‘berakhir’, ‘habis’, ‘selesai (dibaca, diceritakan, dipertunjukkan, dsb)’, atau ‘khatam’. Penemuan ini agak mengejutkan saya karena dari dulu saya kira tamattermasuk kelas adjektiva atau kata sifat. Pendirian ini didukung oleh tesaurus Eko Endarmoko (edisi pertama), sedangkan Tesamoko (edisi kedua) sependirian dengan KBBI dan memberinya tanda v (yakni verba). Terlepas dari kebingungan saya yang muncul dari keadaan ini, kita dapat lihat bahwa entri tamat hanya ada tiga bentuk berimbuhan dalam KBBI, yakni menamatkan (membuat menjadi tamat), penamatan (proses, cara, perbuatan menamatkan) dan tamatan (yg sudah tamat belajar). Kata penamatan tidak terdapat di KBBI edisi sebelumnya, dan juga tidak tertemukan di dalam Tesamoko (baik edisi perdana maupun edisi kedua). Ini menunjukkan bahwa kata tamat siap berkembang dan, saya kira, tidak salah kalau dikembangkan lebih lagi.

Beberapa saat yang lalu, liburan saya di Indonesia dibumbui oleh lomba lari lintas alam (yang tentu saja lebih dikenal sebagai trail running) di daerah Salatiga. Dalam spanduk digital dan media cetak dinyatakan bahwa “100 finisher pertama dapat medali”. Realitas ini melahirkan dua buah pemikiran dalam benak saya: (1) sepertinya saya mesti menguras tenaga dalam lomba ini, karena tidak mungkin saya tidak membawa pulang medali, dan (2) semestinya ada kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti finisher itu.

Nah, kata finis (tanpa “h”) memang sudah mengindonesia dan, dengan demikian, sudah menjadi bagian dari KBBI. Namun, kamus ini tidak memberikan bentuk berimbuhan pada kata ini. Sia-sialah kita mencari kata pefinis, misalnya, yang barangkali bisa memiliki arti finisher itu. Maka, mari kembali ke kata tamat yang saya nyatakan siap berkembang lagi tadi. Bagaimana kalau bentuk penamat diusulkan? Orang yang lari adalah pelari, dan pelari yang mencapai garis tamat adalah penamat. Sebagai bonus, istilah garis finis sepantasnya sudah saya ganti dengan garis tamat. Bentuk penamat ini juga akan meluruskan istilah lain yang biasa dipakai di Indonesia, seperti medal finisher dan kaos finisher. Saya yakin khalayak umum akan memahami medali penamat dan kaos penamat tanpa kesulitan apa pun.

Ternyata, ide ini tidaklah hanya muncul sebagai renungan dalam benak saya, tapi malah sudah diterapkan oleh beberapa penyelenggara lomba lari di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kata penamat memang pantas dipakai, bahwa sejumlah penyelenggara lomba memedulikan (mengapa tidak ada bentuk berpeduli?) bahasa Indonesia, dan bahwa masih ada harapan supaya UU Nomor 24 Tahun 2009 (tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) bisa dipatuhi kalau ada niat yang lurus.

O, ya, selain kenangan indah, saya akhirnya juga membawa pulang medali dari Salatiga.

(Bagi yang masih ragu-ragu:) TAMAT.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *