Kasar atau (Sok) Akrab?

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 Januari, 2018]

Ketika saya mulai belajar Bahasa Indonesia, disampaikan bahwa kamu hanya bisa dipakai dengan kerabat atau saudara yang amat dekat atau dengan anak kecil. Segala penggunaan yang lain dianggap kurang sopan, dan dengan jelas akan memperlihatkan kenyataan bahwa kami, para pelajar, belum memahami bahasa asing ini. Kami disuruh memakai kata Anda atau kata panggilan yang tepat, seperti mbak, mas, bu, pak, dan seterusnya. Kalau kita berkonsultasi dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ajaran ini sepertinya bisa dikatakan tepat. Kamu diartikan sebagai ‘yang diajak bicara; yang disapa (dalam ragam akrab atau kasar)’. Bagian terakhir ini yang penting: akrab atau kasar. Anda, di lain pihak, diartikan KBBI sebagai ‘sapaan untuk orang yang diajak berbicara atau berkomunikasi (tidak membedakan tingkat, kedudukan, dan umur)’. Dengan demikian, lebih amanlah memakai kata Anda.

Puluhan tahun kemudian, sebagai warga negara yang baik (walau bukan warga negara Indonesia) saya mencoba mendaftarkan kartu SIM saya di Indonesia, sesuai perintah dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ternyata proses ini bagi orang yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK) bagaikan hidup dalam novel Franz Kafka. Konon bisa mendaftar dengan menggunakan paspor, tapi peraturannya belum begitu jelas dan dengan jelas tidak berpihak pada para pelanggan. Untungnya, staf Kemkominfo bersahabat.

 

Bagaimanapun juga, waktu berhadapan dengan birokrasi ini, saya di antara lain berkomunikasi lewat Internet dengan salah satu operator terbesar di Indonesia. Yang coba membantu saya ternyata bukan orang benar, tapi “asisten virtual” (bernama Veronika) dan dia selalu memanggil saya (dan pelanggan lain, tentu) dengan pronomina kamu: “Jangan lupa daftarkan nomor Kamu ya”, “Tolong perjelas yang Kamu maksud ya”, “Sembari menunggu, Kamu bisa mencoba hiburan di bawah ini”. Yang menarik di sini tentu bahwa dia memanggil saya Kamu (bukan Anda) dan bahwa dia mengawali kata ini dengan huruf kapital, seolah-olah ingin mengikuti jejak Anda yang selalu menggunakan huruf kapital pada awal kata. Mungkin dirasakan bahwa kekasaran atau keakraban berkurang jika menggunakan huruf kapital. Menariknya juga, ketika si asisten virtual ini tidak berhasil menyelesaikan masalah saya, seorang karyawan benaran mengambil alih dan dengan langsung memanggil saya mas André.

 

Di iklan-iklan, baik di media cetak maupun media digital, penggunaan kamu juga semakin sering terlihat, seperti dalam “Kamu belum pakai voucher go pulsa”, “Andre, spesial untukmu, cashback s.d. 200rb”, “Kamu suka minum kopi yang fresh?”, “Saatnya kamu liburan gratis”, “Tips pilih sabun yang aman untuk kulit kamu”, dan seterusnya. Susah membayangkan seorang pramugari menyapa kita dengan pertanyaan: “Kamu mau minum kopi?” ketika baru saja lepas landas. Susah juga membayangkan seorang pelayan hotel mengatakan “Kamu bisa menikmati sarapan dari pukul enam pagi”. Jadi, komunikasi dengan menggunakan kata kamu sepertinya baru terjadi lewat komunikasi jarak jauh.

 

Nah, pertanyaan saya adalah: apakah mungkin memiliki hubungan akrab dengan seseorang kalau belum pernah berkomunikasi sebelumnya (apalagi bertemu)? Kalau kami berprasangka baik, itulah yang sedang terjadi. Yang ajak kita berkomunikasi, langsung menganggap kita memiliki hubungan yang begitu akrab sampai penggunaan kamu masuk akal. Atau mungkinkah, kalau kita berprasangka buruk, komunikasi kita dengan orang-orang yang belum kita kenal ini didasari kekasaran?

 

Pendek kata, apakah orang (virtual atau tidak) yang menyapa kita dari kejauhan (tidak bertatap muka secara langsung) kasar atau hanya (sok) akrab?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *