Diaspora Lagi

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 21 Juli, 2018]

Dalam rubrik surat pembaca maupun rubrik bahasa ini, kata diaspora akhir-akhir ini cari dan dapat perhatian. Soegio Sosrosoemarto menganggap kata diaspora tidak pas dipakai pada konteks modern sebab, katanya sendiri, terlampau erat hubungannya dengan sejarah kuno kaum Yahudi. Dalam rubrik bahasa, Kasijanto Sastrodinomo memberikan pemahaman atas kata diaspora yang lebih mendalam dan menyeluruh. Menurut Kasijanto, ada perbedaan di antara diaspora dan Diaspora sebab kata yang diawali huruf kapital mengandung pengertian politis, sedangkan yang pertama lebih bersifat umum. Katanya lagi, diaspora mirip dengan perantau meski kata terakhir ini tak mesti ada unsur politiknya.

Jika kita menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka terlihat bahwa kata diaspora hanya diberikan satu penjelasan, yaitu “masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya bangsa Yahudi yang tersebar di seluruh dunia”. Dengan kata lain, KBBI mengaitkan kata diaspora dengan suatu era (masa) tertentu walau seolah-olah lupa bahwa negara Israel sudah berdiri selama 70 tahun (saya merujuk pada KBBI daring sekarang, dan belum sempat mengecek apakah ada perbedaan dengan edisi cetak). Sayang sekali, kata diaspora belum terekam dalam Tesamoko (Tesaurus Bahasa Indonesia, karya Eko Endarmoko).

Dalam pemahaman saya, diaspora tidak identik dengan perantau. Perantau adalah orang yang merantau, sebagaimana Anda sebagai pembaca adalah orang yang membaca. Mengenai kata diaspora, saya cenderung bersandar kepada pemahaman yang misalnya disampaikan oleh Merriam-Webster (MW). Selain memberikan pengertian yang dikaitkan dengan sejarah kaum Yahudi, MW ini juga memberikan pemahaman yang lebih luas, yaitu “people settled far from their ancestral homelands”, atau “orang-orang yang menetap jauh dari negara asalnya”. Bentuk jamak (orang-orang) menjadi kunci kepada pemahaman yang, menurut saya, lebih pas dan juga merupakan bentuk yang lebih lazim dipakai oleh orang-orang yang merantau sendiri. Sebuah diaspora adalah sekelompok orang yang menetap (secara permanen ataupun untuk sementara) di luar negara asalnya. Maka, kita dapat mengatakan bahwa “diaspora Indonesia di Belanda terdiri dari 1,2 juta orang”, sedangkan ucapan “ada 1,2 juta diaspora Indonesia di Belanda” mesti dianggap keliru. Dengan kata lain, usul saya supaya diaspora dimengerti secara lebih luas, dan juga terlepas dari sejarah Yahudi. Kita dapat membandingkannya dengan kata umat yang juga merupakan sebutan untuk sekelompok orang dan bukan untuk individu-individu. Dengan logika yang sama, kalimat seperti “ada dua ratus ribu umat Islam yang berkumpul di Monas” mesti dianggap sesat sebab umat Islam itu hanyalah satu.

Di atas saya mengusulkan bahwa diaspora adalah sebutan untuk sekelompok orang yang menetap di luar negara asalnya. Barangkali pemahaman ini perlu diperluas lagi supaya kita dapat membicarakan, misalnya, “diaspora Jawa di Kalimantan” atau “diaspora Papua di Sulawesi”. Tapi, barangkali batasnya di situ supaya kita tidak perlu melihat ucapan seperti “diaspora Sleman di Bantul” atau “diaspora Gambir di Palmerah”.

Terus, bagaimana dengan niat seorang anggota diaspora untuk kembali dan menetap di tanah kelahirannya? Apakah kediasporaan mesti bersifat sementara? Dari segi bahasa, saya kira tidak ada sangkut-pautnya. Seorang TKI yang bertugas setahun di Malaysia demi memperbaiki nasib keluarga di tanah air sama nilai kediasporaannya dengan seorang profesor Indonesia di Amerika yang tidak ada niat sama sekali untuk kembali menetap di Indonesia. Yang penting, mereka sama-sama masih menganggap diri bagian dari diaspora Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *