Bahasa Rahasia

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 9 Maret 2007.]

Setelah lama duduk manis di atas kendaraan yang memuntahkan setidaknya 1,5 ton CO2 per penumpang sekali jalan, kami akhirnya tiba di Jakarta. Capai dan panasnya bukan main. Sebelum bisa melepas lelah sejenak kemudian meneruskan perjalanan ke Jawa Tengah, kami perlu mengurus beberapa hal.

Yang pertama: visa. Saya bergegas ke loket, membayar dulu. Pegawai imigrasi bertanya dalam bahasa Inggris mengenai rencana keberadaan kami di Indonesia. Saya menjawab dalam bahasa Indonesia. Pegawai yang awalnya bermuka suram dan sok berwibawa akhirnya senyum ketika saya mengutarakan keinginan kami pulang ke kampung halaman. Namun, anak perempuan saya (berumur hampir lima tahun) yang berdiri dekat saya tak senyum. Air mukanya keruh, seolah-olah tak percaya. Saya biarkan. Mungkin ia capai. Lumrahlah, kalau begitu.

Kemudian kami ke loket kedua, tempat kuitansi pelunasan visa harus ditunjukkan dan pencapan paspor. Sesuai dengan perintah di situs KBRI di Swedia, saya menyiapkan foto kami untuk keperluan ini. Petugas mengatakan itu tak perlu. Naima hampir loncat kekagetan ketika mendengarnya. Sesudah urusan selesai, saya bertanya kepadanya.

– Ada apa, dik?

– Yang tadi pakai bahasa apa, papa?

– Bahasa Indonesia.

– Terus, satunya?

– Bahasa Indonesia juga. Kita kan di Indonesia sekarang.

Lambat laun ia menyadari bahwa semua orang di negeri panas ini bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang di Swedia merupakan bahasa rahasia kami bisa dipahami setiap orang di sini! Barang tentu, ini berdampak cukup luas. Di Swedia kami selalu pakai bahasa Indonesia kalau mengatakan sesuatu yang tak pantas didengar semua telinga. Kalau dipakai cara begitu di Indonesia bisa bikin suasana kurang enak.

Setelah berpikir-pikir sejenang, Naima akhirnya bertanya apakah semua orang di Indonesia bisa berbahasa Swedia juga. Ketika saya meyakinkannya bahwa bisa dipastikan tidak ada, ia tersenyum nakal, dan mengatakan dengan bahasa Swedia: “Kalau begitu, kita bisa pakai bahasa Swedia saja di luar sekarang.” Dan memang begitu jadinya. Syukurlah, di negeri ini pun kami punya bahasa rahasia! Bukannya kami suka ngomongin orang, tapi memang cukup praktis kalau tak semua orang perlu mengerti segala yang sedang dituturkan.

Untuk sementara, situasi bahasa terkendali. Tapi, apa yang terjadi ketika kami sampai di Semarang dan selama perjalanan berikutnya ke Blora? Ternyata di sini orang punya bahasa rahasia sendiri! Dinamakan “Bahasa Jawa”. Bunyinya lucu dan tidak bisa ia pahami. Yang jelas, Naima tak senang mendengar ibunya pakai bahasa rahasia baru ini dengan eyang dan kakungnya.

Saya coba menyabarkannya dengan mengatakan bahwa bahasa ini tak bisa digolongkan sebagai “bahasa rahasia sekali” karena jika didengarkan terus-menerus, selimut rahasianya makin tipis dan kami bisa tangkap maksudnya walau mungkin tak bisa bertutur sendiri. Tentu saja ini alasan yang tak dapat diterima orang berusia belum lima tahun. Maka, ia tetap saja mengganggu ibunya kalau ngotot pakai bahasa aneh ini, sedangkan ibunya merasa sangat aneh kalau terpaksa pakai bahasa selain bahasa ibunya ketika berbicara dengan ibunya sendiri!

Empat minggu kemudian:

-Mungkin kita bisa belajar bahasa Jawa ini nanti, dik?

-Nggak usah. Sayur saja disebut jangan. Kan nggak benar. Piye toh?

André Möller Pengamat Bahasa, Tinggal di Swedia

Satu pemikiran pada “Bahasa Rahasia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *