Warna Orang-Orang

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 20 Mei 2007.]

Belajar nama-nama warna dalam bahasa asing tidaklah selalu terlalu mudah dan sering menimbulkan kesalahan kebahasaan yang bersifat kekanak-kanakan. Terkadang bunyi suatu nama warna terasa lebih pas dengan warna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh, saya dulu merasa bahwa nama biru lebih cocok dengan warna hijau, dan oleh karena itu saya sering mencampurkannya.

Cukup malu juga minta sekilogram apel biru di pasar. Itu bisa dianalogikan dengan keponakan saya di Blora yang waktu berumur empat tahun teriak-teriak, “Aku lapar! Aku lapar!” Padahal, maksudnya, “Aku (sudah) kenyang!” Tak aneh jika ia marah kalau setiap kali mengatakan bahwa ia kenyang (sebagaimana ia memahami bahasanya), ia malah diberi makanan!

Kembali ke nama warna. Sekarang ada dua warna yang bunyinya sangat keren dalam bahasa Indonesia: ping dan orinj. Dengan kata lain, pink dan orange. Atau dengan kata lain lagi: merah muda dan oranye. Atau: merah jambon dan kuning kebakaran. Ah, yang terakhir itu terlalu bahasa Swendonesia. Namun, warna itu juga disebut (warna) layung atau lembayung. Mambang kuning dan merah jingga pun tercantum dalam Tesaurus Bahasa Indonesia.

Anak saya yang lima tahun sedang kesusahan mengucapkan oranye. Jadinya selalu orang-orang. Maka tidak aneh kalau terlontar kalimat seperti ini di rumah kami: “Aku mau pakai celana warna orang-orang itu, lo!” Saya kira dia tidak salah sebab sekarang pas musim panas di Swedia, orang-orang cenderung tidak berwarna kulit putih. Setiap kali matahari muncul di langit, orang-orang berbondong- bondong ke tempat tak berteduh guna dijilati sang kuning besar. Maka, orang sekarang memang berwarna kulit oranye atau mungkin merah muda. Tunggu sebulan lagi, orang kelihatan seperti kepiting. Itu berarti warna orang-orang bakal berubah sesuai dengan musim. Lagi pula, warna orang-orang itu tidak akan sama di semua benua. Mungkin akan lebih baik jika dia kami ajari kata lembayung saja sebagai pengganti warna orang-orang. Hanya takutnya tidak ada anak lain yang bisa memahami maksudnya nanti kalau dia pakai kata itu di Indonesia.

Berbicara mengenai warna kulit, yang merupakan salah satu topik kesukaan khalayak ramai di Indonesia, perlu saya umumkan bahwa anak kami yang kedua yang baru lahir pada bulan Juni kemarin kami beri nama Albin. Nama ini berasal dari kata bahasa Latin Albinus, dan kata ini terbentuk dari kata albus yang berarti ’putih’. Ini juga asalnya kata albino dan bulai (bulé), seperti pernah saya bahas dalam rubrik ini dua tahun lalu. Jadi, baru Albinlah di keluarga kami yang bisa mengaku benar-benar orang bulé, karena namanya saja Albin. Bahwasanya ibunya orang Indonesia tidak perlu dihiraukan, dan warna kulitnya pun tidak berperan dalam masalah ini. Namanyalah yang menentukan. (Tidak mungkin Pak Soleh tidak saleh.)

Kembali ke ping dan orinj. Mengapa dua warna ini, dan bukan warna-warna lain, yang cenderung diucapkan dengan bahasa asing? Apakah mungkin karena kedua warna ini merupakan warna campuran? (Warna campuran melahirkan bahasa campuran?) Ataukah, karena bahasa Indonesia untuk kedua warna ini lebih banyak suku katanya? (Kepanjangan kata melahirkan kebosanan berbicara?) Ataukah, karena dikira tidak ada bahasa Indonesianya yang tepat?

André Möller Pengamat Bahasa, Tinggal di Swedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *