Pentingnya Nasi dan Salju

BAHWASANYA bahasa dan kebudayaan sangat erat kaitannya sudah lama diketahui. Setiap bahasa pasti mencerminkan kebudayaan setempat dan memiliki ucapan-ucapan yang tidak masuk akal apabila diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain. Sebaliknya dapat juga terjadi suatu kebudayaan dipengaruhi bahasa yang ditampunginya. Hubungan yang sangat rumit di antara bahasa dan kebudayaan cukup menarik untuk diteliti lebih lanjut. Di sini kami hanya menyibukkan diri dengan beberapa contoh yang menyinggung hubungan itu dengan harapan, pembaca akan terbangkit rasa tertariknya pada masalah kebahasaan. Mari kita cermati beberapa kelompok kata yang jumlah dan bentuknya dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya.

Kata pertama yang perlu kita renungkan artinya sebentar di sini ialah sebuah kata dari bahasa Inggris, rice. Sewaktu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, rice sering kali diganti dengan nasi, namun pemahaman ini jauh dari memuaskan. Soalnya, dalam kebudayaan-kebudayaan Nusantara, rice sebagai suatu konsep lebih penting dan bermakna daripada dalam kebudayaan Inggris atau Eropa lainnya. Di Eropa nasi tidak pernah jadi makanan pokok dan orang-orang lebih suka makan kentang rebus dan roti. Ditambah lagi, tidak pernah ada sawah di Eropa. Walhasil, kata rice-Swedia ris, Spanyol arroz, Jerman Reis-digunakan untuk semua hal yang berhubungan dengan bahan makanan ini, sejak dari benih sampai masak.

Dalam bahasa Indonesia dikenal bermacam kata untuk menggantikan rice-nya Eropa. Yang ditanam di sawah itu bukan nasi, tetapi padi. Yang dipanen pun bukan nasi, tetapi gabah. Lantas, yang dijual di pasar dan toko-toko itu dinamai beras. Bahan ini baru menjadi nasi apabila sudah dimasak. Tempat penanaman padi itu sendiri memiliki nama khusus, sawah, sedangkan dalam bahasa Inggris orang menyebutnya rice field, yang secara harfiah berarti ’ladang nasi’. Ini semua menandakan bahwa rice dan nasi memiliki arti dan makna yang sangat berbeda di benua Eropa dan Nusantara.

Ini dapat juga dilihat dari beberapa ucapan yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya saja makan nasi yang pada hakikatnya berarti ’makan (benar)’, bukan ngemil. Tentunya, ucapan macam ini tidak terdapat dalam bahasa-bahasa Eropa. Saya yang pernah tinggal di Jawa Tengah sekali peristiwa dijadikan bahan ejekan setelah menanyai beberapa petani di sana apakah mereka sedang menanam nasi….

Sebagai contoh lain, mari kita renungkan kata salju sebentar, yang ngomong-ngomong pernah dijadikan bahan pembahasan dari sudut lain di kolom ini beberapa saat lalu. Di dunia Nusantara, kata salju tidak begitu sering dipakai dan kebanyakan orang Indonesia tidak pernah melihat, apalagi merasakannya. Maka dalam bahasa Indonesia, hanya terdapat satu kata untuk menggambarkan bahan dingin tersebut, selain kata es yang terkadang secara salah digunakan sebagai sinonim. Konon, dalam bahasa Inuit (yang lazim juga disebut Eskimo) terdapat puluhan kata untuk salju-nya bahasa Indonesia. Dengan demikian, bahan salju bisa digambarkan dengan berbagai spesifikasi, misalnya tingkat kelembabannya, “usianya”, arah asalnya, dan sebagainya. Lebih rumit lagi, dapat juga beberapa kombinasi dari spesifikasi-spesifikasi tersebut. Dengan kata lain, apabila seorang Inuit memakai kata x untuk menyebut salju, maka pendengar atau lawan bicaranya langsung dapat mengetahui keadaan bahan itu.

Dalam bahasa Jawa juga terdapat sejumlah kata yang tidak ada bandingannya dalam bahasa lain. Sudah mencukupkan di sini kalau kami mengemukakan dua pasang kata, yaitu klapa-kenthos dan bajangan-pelem. Dalam bahasa Indonesia kedua pasangan kata tersebut bakal dinamai ’kelapa muda-kelapa (tua)’ dan ’mangga muda-mangga (tua)’, sedangkan sejumlah bahasa Eropa malah tidak mengenal perbedaan ini sama sekali. Alasannya tentu karena buah-buahan ini tidak pernah dapat tumbuh di sana.

Untuk mengakhiri pembahasan sederhana ini, dapat kami simpulkan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan (ataupun sejarah) bisa digambarkan dengan beberapa kata bahasa Indonesia, yang tahu-tahu tidak ada padanannya dalam beberapa bahasa lain. Menarik, kurang diteliti, dan cukup menjanjikan bagi para peneliti bahasa.

ANDRE MOLLER Mahasiswa S3 di Lund, Swedia, Sedang Menulis Disertasi tentang Bulan Suci Ramadhan di Indonesia dari Pelbagai Sudut

Satu pemikiran pada “Pentingnya Nasi dan Salju

  1. Sudut pandang yang sangat menarik Pak Moller. Saya sendiri tahu perbedaan-perbedaan seperti itu ada dalam bahasa Indonesia, bahasa Jawa dan bahasa Arab, tapi saya belum menyadari kaitannya dengan akar budaya tempat bahasa itu lahir. Baru sekarang saya menyadarinya setelah membaca tulisan ini. Sungguh pelajaran yang sangat berharga. Terima kasih Pak Moller.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *