Merenungkan Ihwal Nada

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 2 November 2007.]

Ketika sedang sungguh bosan di kantor, saya sering kali membuka laman web Radio Republik Indonesia. Di sana terkadang dapat didengarkan siaran langsung dari Indonesia dan, jika bisa, rasa lelah lekas sirna. Bukannya karena acara-acara RRI terkenal lucu, tapi karena cara para pembawa acara berbahasa terasa cukup mengherankan. Inti dari keheranan ini adalah nada-nada mereka.

Rasanya tak terlampau jarang, RRI diisi dengan acara olahraga. Saya, yang sama sekali tidak tertarik pada berita olahraga, selalu terpukau mendengarkannya. Ketertarikan ini tidak karena secara tiba-tiba, saya tertarik pada hasil terakhir liga sepak bola Indonesia atau pada bagaimana perkembangan pelatihan para olahragawan dari Sulawesi. Tidak. Yang membuat saya terpukau adalah nada para pembawa acara. Mereka membaca berita ini seolah-olah isinya kabar buruk atau, lebih tepat, seolah-olah isinya tidak lain selain cerita menakutkan.

Dengan nada seram dan sungguh serius, sang pembawa acara mendengungkan: “Si Anu menang pertandingan bulu tangkis di Malaysia kemarin.” Ketika para pendengar sudah merasa ngeri, dia melanjutkan dengan suara yang sepertinya datang dari jurang sungguh gelap: “Dan si Anu sedang berlatih di Singapura dengan sistem pelatihan yang baru.” Takut, rasanya. Padahal, berita olahraga itu sendiri tak buruk, tapi sebab yang menyampaikannya memakai nada yang tidak sesuai dengan inti beritanya, para pendengar (setidaknya saya) jadi sesat dan bingung.

Lain ceritanya dengan para pembaca berita umum. Mereka yang sering kali menyampaikan berita duka mengenai pelbagai bencana yang akhir-akhir ini melanda Indonesia, malah mengedepankannya dengan nada senang, seolah-olah mereka sedang menghibur kami yang sedang mendengarkannya. Beberapa hari yang lalu ada pembawa acara yang menyampaikan berita mengenai para pengungsi Gunung Kelud. Dengan nada yang penuh gembira ia bercerita tentang seorang pengungsi: “Dan kini maagnya kambuh karena tidak bisa makan secara teratur.” Seolah-olah dia menang arisan saja.

Nada yang sama terdengar beberapa minggu yang lalu ketika ada gempa di Sumatera. Dengan nada senang seorang wartawan melaporkan langsung dari kemah pengungsian: “Di sini tidak ada air bersih, tidak ada makanan, dan tidak ada obat-obatan yang sangat diperlukan.” Dari nadanya dapat dikira ia dan semua pengungsi sedang kejatuhan durian. Kenyataannya, anak-anak sedang menderita sejumlah penyakit karena tak memperoleh air bersih dan obat-obatan.

Ada apa dengan nada yang tidak sesuai dengan arti kata-kata yang keluar dari mulut ini? Apakah ini biasa terjadi di Indonesia? Apakah orang-orang Indonesia sering “lupa” menyesuaikan nada dengan topik pembicaraan?

Jawabannya pendek saja: tidak sama sekali. Atau, alternatif kedua yang lebih pendek lagi: sebaliknya. Pada hemat sederhana saya, orang Indonesia justru sangat peduli dengan naik-turunnya dan sedih-bergembiranya nada ketika berbicara dan membaca. Saya sendiri baru dapat mulai menghargai puisi setelah bertempat tinggal di Indonesia beberapa saat. Baru waktu itu saya menyadari bahwa puisi harus dibaca dengan suara keras karena tanpa nada yang benar, puisi cepat terasa kosong.

Jadi, mengapa sejumlah pembawa acara RRI mengalami kesusahan ini yang sama sekali tidak biasa di Indonesia, saya tidak tahu. Yang pasti, kelelahan cepat menghilang ketika mendengarnya.

André Möller Pengamat Bahasa, Tinggal di Swedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *