Dia dan Ia

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 9 Mei 2008.]

Saya baru saja menyadari bahwa terdapat hasrat di antara sebagian penulis Indonesia untuk membedakan kata dia dan ia berdasarkan jender. Usul mereka: dia dipakai untuk lelaki dan ia untuk perempuan. Bisa juga ia dipakai untuk barang mati dan dia untuk orang (dan hewan?). Konon pembedaan ini akan sangat baik, membantu, dan tentu saja akan meniru banyak bahasa Barat dan bahasa Arab yang memiliki dua—atau lebih—kata untuk sebutan orang ketiga.

Saya sangat ragu terhadap usul ini. Mengapa para pembaharu bahasa Indonesia mesti mencari bentuk dan pola dari luar Nusantara? Sejauh yang saya tahu, pembedaan ini tak ada dalam bahasa lokal di Indonesia, dan di dalam bahasa nasional sudah jelas tak pernah ada. Apa langkah berikutnya? Apakah mungkin pola tata bahasa lain bisa diimpor juga? Mungkinkah kata kerja bahasa Indonesia diubah menurut pola kata kerja bahasa Jerman atau Inggris, misalnya? Kan, kata melihat misalnya tidak menjelaskan apakah pelakunya sudah, akan, atau sedang melihat. Mending, menurut logika tadi, memakai pola bahasa Inggris, dan kalau begitu kata melihat dalam tempo masa lalu bisa menjelma menjadi melihated. Tak masuk akal!

Di Swedia terdapat keinginan terbalik yang sama-sama tak masuk akal. Pembaharu bahasa ini ingin menghilangkan dua kata yang dipakai sebagai pengganti dia—hon (perempuan) dan han (lelaki)—dan mengedepankan sebuah kata yang sama sekali baru (hen) yang bisa dipakai baik untuk lelaki maupun perempuan. Apakah kata baru ini juga akan mengganti kedua kata yang dipakai untuk benda mati (den dan det) belum jelas. Konon penghilangan kedua kata tadi akan sangat memajukan kesetaraan jender di Swedia sebab lelaki dan perempuan tak dibedakan dalam tata bahasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, dia dipakai untuk ”persona tunggal yg dibicarakan, di luar pembicara dan kawan bicara” dan ia juga disebut sebagai sinonim. Di buku yang sama ia dijelaskan dengan kata yang sama, tetapi kata ini juga diberi arti kedua, yakni ”benda yg dibicarakan”. Sama sekali tak ada kata yang mengisyaratkan pembedaan atas dasar jender, dan saya harap dan merasa yakin, KBBI akan mempertahankan pandangan ini. Yang mengherankan saya sedikit ialah bahwa dia tak bisa dipakai untuk benda. Apakah memang begitu?

Kita semua perlu bertanya apakah dalam era globalisasi ini semua bahasa harus saling mendekat, meniru, dan mencontoh. Katanya, separuh dari 5.000 bahasa yang terdapat di dunia terancam punah dalam abad ke-21 ini, dan sebagian dari bahasa dalam ancaman ini terdapat di Indonesia. Bukan saja bahasa kecil yang terancam, bahasa besar, seperti bahasa Jawa pun, tak sepenuhnya selamat dari ancaman ini, menurut Zainuddin Taha, di Universitas Negeri Makassar.

Agar kemajemukan bahasa tetap selamat di dunia global ini, tentu saja bahasa-bahasa harus (1) tetap dipakai oleh sejumlah orang, (2) dipertahankan keunikannya, dan (3) merasa percaya diri bahwa terdapat solusi tata bahasa dan kosakata dalam bahasanya sendiri. Bahasa bisa maju tanpa meniru, berkembang tanpa hanya mencontoh.

Akhirulkalam, saya mengusulkan sebuah seminar bahasa yang mengumpulkan para pembaharu bahasa Indonesia dan Swedia. Topik utamanya tentu saja dia. Pasti ramai jadinya.

Andre Moller Penyusun Kamus Swedia-Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *